"Kebaikan itu tak selamanya lembut dan manis, terkadang ia kasar dan pahit untuk ditelan"

Kabut Pilu

Senja di kaki Gunung Sindoro, Foto: Mifta Lee

Tersayat perih membekas luka tak kasat mata
Tak ada darah yang mengalir
Hanya linangan air mata yang tertumpah
Sahabat datang diwaktu senang
Menghilang dikala badai datang
Hutan menjadi teman atas kemalanganmu
Hujan menhapuskan air mata kecewamu
Bebatuan licin nan terjal menopangmu dalam lelahmu
Mentari sore tak kuasa mengantarmu pulang
Langit senja pun tak kuasa melihatmu jatuh
Merayap dalam ketidakberdayaanmu
Senyum kesedihan yang tergores di wajahmu
Menggambarkan lelahmu, kecewamu
Aku sanggup menjaga ragamu
Meringankan bebanmu,
Namun aku tak mampu mengobati perih hatimu
Karena aku bukan sahabatmu.

Sepiku dan Gelapmu

 
Foto: Mifta Lee

Kabut sore menyelimuti hutan-hutanmu,
Sunyi senyap aku sendiri
Di tengah hutanmu
Tak terdengar bisik jangkrik dan desiran angin
Semua syahdu dalam dekapan dinginmu
Aku terus berlari, tanpa ada seorang pun yang sudi mengejar
Tak tahu kebenaran dari apa yang aku cari
Langit sore pun tak mampu menahan sedihnya melihatku
Tetes air matanya memandikanku, 
Aku masih berlari di tengah hutanmu
Aku biarkan dinginmu menyelimutiku
Airmu membanjiri tubuhku, bersama peluhku
Aku terus berlari hingga, waktu mendekapku dalam gelap
Seorang diri dalam balutan malam nan senyap
Aku tak ingin berhenti, meski nafasku harus merayap mengikuti inginku
Bumi yang aku pijak sekan menjadi medan magnet yang menarik tapak kakiku
Langkahku terasa sangat berat, mungkin karena penat
Aku mencoba meruntuhkan rasa takutku, 
Dalam sepiku, dan dalam gelapmu
Berlari menjemput pagi datang membawa hangat dan terang.

Logika


Foto: danboindonesia.blogspot.co.id
Terbang liar menembus batas logika
Menebar benih harapan di padang tandus
Menantikan tumbuhnya mawar di atas salju
Dalam kesendirian, kau ciptakan keramaian
Berlari dari kesunyian waktu yang membatasi ragamu
Menggambarkan danau dalam kamar kecilmu
Di atas perahu kayu, kau arungi luasnya danaumu
Sepi sendiri kau bersamanya
Tak ada rumput dan katak yang hidup di sana, hanya kau seorang diri
Tak ada tepian danau untukmu berlabuh, 
yang ada hanya tembok kusam penuh coretan kebohongan
Kicau burung terdengar sangat bising, tak seperti yang Aku tahu
Ia pertanda bahwa waktumu untuk berlabuh pada tepian kesadaran
Kini duniamu sama seperti duniaku, ia tempat tinggal logika dan rasional
Bukan mimpi malam dibawah sinar rembulan, berdinding ruang dan waktu
Bukan keajaiban tanpa pengorbanan. 

Waktu Laksana Pedang




Wahai orang yang lalai akan akibat perbuatannya,
Wahai orang yang terhenti di atas kekurangan dirinya
Kau telah tertinggal oleh mereka yang teguh pendirian
Sedang engkau tidur di atas kebimbangan
Tegaklah di depan pintu tobatmu, menyesali diri
Tundukkan kepala dan akui: aku orang dzalim
Berdoalah di keheningan malam
Ikuti jalan mereka meski tak sampai
Tegaklah menyesali diri saat malam kelam
Berjagalah membuka pintu tobat Ilahi
Gantilah usiamu yang hilang di masa lalu
Campakkan waktu mubazir dan hawa nafsu jauh-jauh
Ceraikan duniamu
Jika kau menuntut kebaikan kekalmu.

(Dinukil dari al-Mudhisy, karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah)

Kebaikan itu harus sesuai tempat dan porsinya


Setiap manusia ingin dihargai, diakui, dan disayangi. Setiap manusia yang melakukan kesalahan ingin dimaafkan. Umumnya manusia pun memaafkan, terlepas maaf itu ikhlas atau terpaksa. Bahkan ketika kesalahan itu mereka ulangi, mereka pun tetap ingin dimaafkan, dimaklumi dan dilupakan.

Namun, apa yang terjadi jika hal itu, terus dan terus berulang?. Apakah kebaikan yang diberikan oleh hati-hati yang tulus justru menjadi pupuk penyubur kesalahan dan kejahatan. Jika memang yang terjadi sekarang ini demikiaan. Maka aku akan menjadi orang yang sangat tega untuk tidak memaafkan dan memaklumi kesalahan mereka. Aku tidak peduli jika mereka mengatakan aku orang yang pemarah.

Lebih baik mana, ketika aku memarahi mereka atas kesalahan yang mereka lakukan. Kemudian mereka sadar bahwa mereka salah, lalu kemudian mereka memperbaiki kesalahan tersebut. Atau aku biarkan kesalahan mereka, dengan terpaksa memaafkan, lalu mereka menganggap bahwa kesalahan yang mereka lakukan adalah sesuatu yang wajar. Kesalahan itu dianggap sesuatu yang manusiawi. Kemudian dilain waktu, kita harus kecewa dengan kesalahan yang berualang.

"Tidak semua kebaikan itu lembut dan nyaman diterima, terkadang ia sangat kasar dan pahit untuk ditelan"

Bahagia itu sederhana

Seorang bapak yang usianya masih tergolong muda mengeluhkan tentang beratnya pekerjaan yang harus ia lakukan untuk keluarganya. Kemudian seorang bapak yang usianya jauh lebih tua darinya mengatakan:"Paling tidak kamu memiliki anak dan istri yang menunggumu di rumah, hasil pekerjaanmu ada yg menantikan".
Bapak muda tadi lalu diam dan beranjak pergi meninggalkan bapak tua itu.
Dia merasa malu, bukankah pengorbanannya dalam bekerja itu jauh lebih sedikit daripada kebahagiaan yang ia dapatkan. Ia berfikir tentang nasib bapak tua tadi, dia bekerja sepanjang malam, tapi tak ada keluarga yang ia hidupi. Ia bekerja untuk hidupnya sendiri. Ia sudah lama tak memiliki anak, istrinya pun sudah meninggal.
Bahagia itu pekerjaan hati dan hanya hati yang mampu merasakannya.
So, ketika hidup yang kita jalani tak berlimpah harta....kita masih berhak untuk merasakan bahagia.

Kerinduan malam

Bagaimana mungkin kau rindui malam, sedangkan kau takut kegelapan
Apakah kau pikir, lenteramu cukup terang untuk mengusir gelapnya malam?
Atau kah kerinduanmu lebih besar daripada rasa takutmu
Kerinduan akan gemerlap bintang-bintang
kerinduan akan dinginnya angin
Kerinduan yang akan mencekik rasa takutmu, hingga ia berlutut meminta ampun.
Terusir dari tahta hati di dalam dada
Terganti butiran keindahan yang tipis menyelimuti